Pages

This blog has been moved to www.m0njc.wordpress.com

Showing posts with label seks. Show all posts
Showing posts with label seks. Show all posts

Tuesday, April 20, 2010

Celibacy and Religious Life - TOB series

Celibacy and Religious Life in the light of TOB

Ketika anak remaja ditanyai mengapa tidak berminat jadi pastor/suster? Sebagian besar akan menjawab : ‘ntar ga bisa kawin’. Is it the right answer?


Celibacy and Marriage Analogy
Saya pernah makan dimsum sepuasnya dengan teman-teman saya. Menu yang kami tunggu-tunggu adalah ‘
hakau’, menu dimsum favorit kebanyakan orang. hakau sangat laku karena sangat disukai, so, harus memesan dan menunggu. Sebelum hakau datang, bakpau, lumpia, somay sudah tersedia.

Ada beberapa teman yang walaupun menunggu hakau, mereka tetap menikmati bakpau, somay, dll. ada juga teman yang hanya minum dan menunggu sang hakau datang, karena tidak ingin kenyang terlebih dulu oleh makanan selain hakau. Ketika hakau datang, teman-teman yang sudah makan terlebih dulu, mungkin sudah merasa sedikit kenyang, karena hakau datangnya lama banget. Sementara yang menunggu hakau, langsung dengan lahap menikmati seperti orang kelaparan. Anyway, kami semua puas, makan enak dan kenyang.

Teman-teman yang menunggu hakau merupakan analogi para selibater. Mereka menunggu perkawinan surgawi. Mereka tidak puas dan tidak mau menikmati perkawinan duniawi. Mereka mengkhususkan dan mempersiapkan dirinya khusus untuk perkawinan surgawi.
Sementara mereka yang makan terlebih dulu merupakan analogi orang-orang yang menikah. Mereka menikmati terlebih dulu perkawinan surgawi itu di bumi. Dan nantinya, mereka juga akan menikmati perkawinan surgawi itu.

Anyway, di Surga, kita akan mengikuti dan mengambil bagian dalam
perjamuan kawin Anak Domba Allah. Yaitu Yesus, sebagai mempelai laki-laki akan menikah dengan Gereja-Nya, kita.


Celibacy VS Sexual Excitement
Banyak orang berpikir bahwa, dengan hidup selibat maka hidup akan menjadi
boring dan tidak dapat merasakan nikmatnya seks. Wait! Sexuality is not just about intercourse, but it reveals who we are. Seks bukan hanya soal hubungan intim dan kenikmatannya. Seks berbicara soal diri kita. Lewat seksualitas kita sebagai pria dan wanita, kita dapat semakin memahami diri kita dan memahami Tuhan. Pilihan untuk selibat bukan hanya berarti tidak berhubungan seks.

Yang akan membawa
joy dalam hidup kita bukanlah sex, tetapi love.


Celibacy doesn’t reject sexuality
Jika anda berpikir selibat adalah pilihan untuk tidak melakukan hubungan seks maka, you lose the point of celibacy. Mereka yang memilih untuk selibat, tidak menolak seksualitas mereka.

Sebaliknya, mereka malah menggambarkan tujuan dan makna utama dari seksualitas manusia, yaitu pemberian secara utuh kepada Tuhan. Mereka berfokus pada suatu hidup yang lebih menyenangkan di Surga. Lewat pemberian diri secara utuh ini, mereka berfokus pada persatuan dengan Tuhan di Surga. Mereka menjadi saksi bahwa terdapat sukacita yang lebih besar daripada sukacita di dunia ini, yaitu sukacita surgawi.


Celibacy is not repressing and Marriage is not releasing
Selibat tidak menahan dan memendam dorongan seksual. Dan di sisi lain, marriage atau pernikahan bukanlah suatu zona aman melampiaskan dorongan seksual.

Para selibater menikmati seksualitas mereka dan mengalihkan segala dorongan seks mereka kepada persatuan utuh dengan Tuhan dan pemberian diri secara utuh. Pasangan yang menikah mengucapkan janji pernikahan mereka dan mereka mengucapkannya tanpa kata lewat penyerahan diri secara utuh, murni dan bebas lewat hubugan seks.

Baik memilih untuk menikah maupun selibat, seseorang tetap harus menjaga kemurnian diri masing-masing dan menjadi memenuhi panggilan dirinya yaitu untuk memberi. Baik dengan memberikan diri secara utuh kepada pasangan, maupun mempersembahkan diri lewat selibat.

Baik menikah, maupun selibat, seseorang dewasa juga dapat dipanggil sebagai orang tua. Ayah dan ibu sebagai orang tua bagi anak-anak mereka dan Imam dan biarawati dipanggil menjadi gembala bagi umat-umat-Nya.


The GIFT of Celibacy
Selibat merupakan suatu panggilan khusus dari Tuhan. Mereka seperti halnya kaum non-religious, mencintai Tuhan. Hanya saja mereka mengambil keputusan radikal, yaitu dengan bebas memilih untuk mempersembahkan diri mereka.

Tetapi hal penting yang perlu diingat, bahwa selibat bukanlah GIFT dari para selibater kepada Tuhan, melainkan GIFT dari Tuhan pada pilihan-Nya.


Am I called?
sepertinya saya dipanggil’ bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul. Dan ‘sepertinya saya tidak terpanggil’ bukanlah sesuatu yang tiba-tiba hilang. Setiap orang harus meneliti hatinya dan bertanya pada Tuhan, apa yang menjadi panggilannya. Dan diperlukan waktu dan proses untuk mengetahui panggilan seseorang.

Berikut tanda-tanda / gejala yang umumnya dialami oleh orang-orang yang terpanggil dalam panggilan khusus ini (taken from Fr. George, CSE notes):
  1. Senang ikut kegiatan di gereja. Senang kumpul-kumpul dengan teman-teman di gereja. Senang kalau berada di gereja.
  2. Suka melihat orang-orang yang berjubah. Pernah berpikir: "Kalau aku pakai jubah, seperti apa, ya?"
  3. Punya keinginan yang kuat untuk melayani Tuhan. "Kalau gak nikah, aku bisa lebih intensif melayani Tuhan!"
  4. Ada orang yang pernah bilang ke kamu: "Kau cocok jadi romo, deh!" atau "Kelihatannya engkau cocok jadi suster." Dan yang ngomong gak hanya satu orang aja!

Bila anda memang merasa dipanggil,
jangan ragu, kenali panggilanmu lebih lagi.

Jika anda merasa tidak terpanggil, benarkah anda tidak terpanggil??? Baiklah, mohon doamu untuk para selibater.



Source : Theology of the Body for teens by Jason Evert chapter 9, TOB leadership training by Brian Butler video chapter 9.

Saturday, March 20, 2010

Homosexuality

Apakah anda mempunyai handphone? Saya rasa hampir semua orang punya. Seperti saya, saya hanya memiliki sebuah handphone Nokia 5800. Bentuknya agak besar. Dengan bentuk handphone yang sebesar itu, saya dapat melakukan banyak hal dengan handphone saya. Saya bisa menggunakan handphone saya untuk menimpuk anjing, saya bisa gunakan handphone saya sebagai pemberat penahan kertas, saya bisa gunakan untuk mengganjal pintu, meja atau kursi dan masih banyak lagi. Wait! Apakah itu tujuan utama diciptakannya handphone?


Natural law
Hidung kita pakai untuk mencium dan telinga untuk mendengar. Kalau ditanya mengapa demikian, jawabannya hanya satu : “dari sananya memang begitu!” Kata “dari sananya memang begitu” sebenarnya mengungkapkan bahwa ada suatu kebenaran yang tidak dapat diubah. Dan hal ini disebut dengan law of nature atau ’aturan alam’.

Dan, terdapat suatu aturan lain, yaitu ‘natural law’ atau ‘aturan yang alamiah’. Aturan ini mengatur kelakuan-kelakuan manusia dan sudah ‘tertulis’ dalam dasar diri setiap orang. Dan dalam natural law ini kita dapat menemukan siapa diri kita sebenarnya, siapa diri kita yang Tuhan ciptakan ini. Dan hanya dengan mengikuti natural law ini, kita dapat menemukan kebahagiaan yang sungguh-sungguh dapat memuaskan kita, karena kita memang diciptakan untuk itu.

Sama seperti handphone, handphone diciptakan untuk berkomunikasi dan hanya dalam berkomunikasi itu saja, tujuan utamanya terpenuhi. Dan hanya dalam mengikuti natural law kita sebagai manusia beratio, kita menemukan kebahagiaan yang sungguh kita pantas rasakan.


Subjective vs objective
Andaikan suatu hari ada seorang teman anda yang memakan sampah. Kita dapat dengan mudah berkata bahwa sampah itu bukan untuk dimakan. Mungkin ia merasa tidak senang dengan kata-kata kita, lalu ia berkata : ‘suka-suka gue donk!’ dan mungkin ia akan merasa bahagia setelah mengikuti kehendaknya sendiri.

Kita sebagai manusia diberi kehendak bebas dari Tuhan. Tuhan tidak pernah memaksa kita untuk mengikuti kehendak-Nya. Jika melihat contoh tadi, teman itu menggunakan kehendak bebasnya untuk memakan sampah, tetapi, apakah manusia pada umumnya memakan sampah?

Mengikuti kehendak bebas kita, bukan berarti kita melakukan apa yang terbaik bagi kita. Kita hanya melakukan apa yang kita pikir itu baik (pandangan subjective), tetapi sebenarnya tidak! Kita harus kembali kepada natural law, kembali kepada objektivitas. Kembali kepada dasar dan tujuan awal tubuh kita diciptakan. Kembali kepada tujuan awal handphone diciptakan. Dan kembali kepada tujuan awal seksualitas kita.


The Biological Theorem
Mari kita ingat-ingat lagi apa yang dulu mungkin pernah kita pelajari tentang seksualitas manusia di sekolah!

Dalam hubungan seksual (atau konjugasi) manusia, laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke alat kelamin wanita. Yang terjadi adalah : pria menyemprotkan sperma ke dalam rahim wanita. secara biologis, inilah natural law, tujuan awal diciptakannya seks, untuk berkembang biak.

Jika anda mempelajari biologi sma, maka anda akan mengetahui bahwa, sistem imun seorang wanita dapat menyerang zat-zat asing yang masuk ke sistem reproduksinya, agar sistem reproduksi tetap sehat dan terjaga. Tetapi, bila terdapat zat-zat yang merupakan sel-sel sperma laki-laki, sistem imun tidak menyerang. Sistem imun wanita akan relax dan menerima sperma masuk. Akhirnya, dapat terjadi pembuahan. Dan mengapa demikian? Jawabannya kembali kepada law of nature diatas.


Reason why the Church disagree with gay-lesbian-homosexuality.
Organ seksual pria diciptakan hanya dapat memberi. Dan organ seksual wanita diciptakan hanya dapat menerima. Organ seksual kita tidak dapat bekerja sesuai fungsinya bila dipasangkan dengan sesama jenis. We cannot change the fact that our bodies are created for opposite sex.

Bila sepasang wanita atau pria melakukan hubungan seksual sesama jenis, maka mereka tidak mengerjakan the ’natural law’ of their sexuality. Mereka melakukan sesuatu yang menyimpang dari tujuan. Sama seperti dengan contoh diatas, seperti menggunakan handphone untuk mengganjal kursi.

Selain dapat merusak organ seksual secara fisik, melakukan hubungan sesama jenis sama saja dengan meng-abuse tubuh kita. Karena hal ini berlawanan dengan tujuannya, yaitu hubungan saling memberi dan menerima. Tubuh kita, bahkan hingga tingkat mikroskopik sel, disesuaikan dengan tubuh lawan jenis kita.

Kembali kepada apa yang diajarkan oleh Paus Yohanes Paulus II bahwa syarat-syarat true love adalah FREE, TOTAL, FAITHFUL, FRUITFUL. Jelas bahwa hubungan sesama jenis tidak memberikan cinta secara TOTAL, dan tentu tidak akan pernah FRUITFUL, berbuah.


I don’t judge, we can’t judge, the GOD doesn’t judge, nobody is judged.
Sayangnya tidak semua orang memiliki dorongan seksual seperti diatas. Teori-teori diatas mungkin tidak akan pernah bisa memahami bagaimana orang-orang yang berjuang dalam ketertarikan sesama jenis, the people who struggle. Para struggler umumnya merasa bahwa mereka terperangkap dalam tubuh yang salah.

Sayangnya dunia ini mengajarkan solusi-solusi yang tidak tepat bagi para struggler. Pertama, diam dan bersembunyi. Atau, tunjukkanlah siapa dirimu, kalau memang demikian dirimu! Dan berakhir pada pandangan objective yang salah dan sexual repression.

Salah satu solusi tepat bagi para struggler adalah hidup dengan menjaga kemurnian seksual, atau mempraktekan chastity dan abstinence, yaitu dengan mengalihkan seluruh dorongan seksual kepada cinta akan Tuhan.


What about u?
Jika anda seorang same-sex attraction struggler, ingat, anda tidak sendirian. Tuhan tahu segalanya dan Ia mengerti kesulitanmu. Salah satu cara yang mungkin bisa anda lakukan adalah membuka hati anda untuk Tuhan masuk dan bekerja. Selain itu, anda juga dapat mengikuti suatu komunitas kristiani yang mampu membantu dan mengerti kesulitan anda, sehingga dapat bersama-sama mengangkat salib yang anda rasakan. Atau dengan mengikuti retret-retret penyembuhan luka batin. Dan seperti yang dikatakan diatas, make chastity as your life-style.

Jika anda bukan seorang struggler, merupakan kewajiban anda untuk tetap menghargai dan mencintai para struggler. Bukan hanya karena kesulitan hidup mereka berbeda dari anda, anda dapat merendahkan mereka. Tidak. Tuhan memanggil kita untuk mengasihi sesama kita seperti kita mencintai diri kita sendiri. Bukan hanya para struggler, anda juga berkewajiban mempraktekan gaya hidup chastity.


m0n
Salam chastity!




Source : Theology of the Body for teens, by Jason Evert, chapter 7, page 104-106, digging deeper: homosexuality.

Tuesday, February 16, 2010

Chastity VS Abstinence - Theology of the Body series

Percabulan merupakan dosa. Gereja mengajarkan demikian dan saya yakin semua orang setuju. Bahkan Yesus berkata, bila kita sudah mengingini perempuan atau laki-laki saja, kita sudah berbuat cabul dalam pikiran. Lalu kita mungkin bertanya : bagaimana dengan hasrat seksual saya?

Admit it : We have sexual desire
“Saya manusia biasa. Saya seorang Kristiani yang taat. Tapi… Bagaimanapun, saya akui, saya juga memiliki dorongan seksual.”

Selama ini mungkin kita berpikir bahwa dorongan seksual adalah dosa. Bila muncul pikiran soal seks, mungkin kita cenderung berkata pada diri kita, “Don’t think about sex! Don’t think about sex! Lupakan itu!” Kita cenderung menahan hasrat seksual kita, khususnya bagi yang belum menikah, kita tahu bahwa belum saatnya untuk melakukan hubungan seks. Dan kita berpikir bahwa untuk menjadi seorang yang baik, yang kudus, yang suci, kita harus melupakan seks.

Mari buang semua pikiran lama, dan akuilah, kita memiliki keinginan seksual. Siapapun kita, laki-laki atau perempuan, seorang biarawan maupun awam, seorang pelayan Tuhan maupun umat biasa, semua manusia memiliki keinginan seksual.

Seksualitas kita merupakan suatu GIFT atau karunia dari Tuhan. Dan dorongan seksual bukanlah suatu dosa. Sebab seksualitas manusia diciptakan Tuhan juga. Tuhan tidak menciptakan sesuatu yang buruk. Dengan adanya seks, suatu kehidupan baru dapat muncul. Tuhan menciptakan manusia dan Ia berkata, “amat sangat baik”, Tuhan juga berkata demikian terhadap seksualitas kita.


Dalam menghadapi dorongan seksual kita, terdapat 2 jenis pandangan, yaitu :
1. Abstinence
Di sekolah maupun di keluarga, bila ada pertanyaan mengenai seks, mungkin guru dan orang tua kita akan berkata : “itu hanya untuk yang sudah menikah.” atau “tidak boleh sebelum married!” Apa yang guru dan orang tua itu katakan, mengajarkan anak-anaknya tentang abstinence.

Jika kita lihat di kamus, abstinence artinya menahan nafsu. Seperti halnya ketika sedang berpuasa, kita menahan nafsu untuk tidak makan atau seperti berpantang, kita menahan nafsu untuk makan makanan kesukaan kita.

Namun, bila abstinence ini kita terapkan terhadap dorongan seksual. Seseorang tidak akan sepenuhnya bebas dari dorongan seksualnya. Yang ada ia malah menahan, menahan dan menahan hasrat seksualnya. Akibatnya dapat muncul bentuk pelampiasan seksual seperti ketergantungan pada pornografi dan masturbasi. Dan, bila seseorang sudah mencapai suatu kebebasan untuk melakukan hubungan seksual, segala dorongan yang terpendam itu akan BOOOM meledak. Akibatnya dorongan seksual menjadi tidak murni.


2. Chastity
Chastity berbeda dengan abstinence. Tepatnya, chastity jauh lebih indah daripada abstinence. Bila abstinence mengajarkan kita untuk berkata TIDAK pada seks, chastity tidak hanya mengajarkan kita untuk berkata TIDAK, tetapi juga berkata YA pada cinta sejati dan segala keinginannya.

Chastity tidak mengajarkan kita untuk menahan atau mengabaikan segala hasrat seksual alamiah kita, tetapi membantu kita mengarahkan hasrat seksual kita. Sebab Tuhan menginginkan kita untuk mampu mengendalikan dorongan seksual kita dan mengarahkannya kepada dorongan yang lebih dalam yaitu mencintai dengan murni.

“When you decide firmly to lead a clean life, chastity will not be a burden on you: it will be a crown of triumph." St. Josemaria Escriva

Tuhan memberikan manusia akal budi. Akal dan budi kita seharusnya mampu mengendalikan semua yang kita inginkan, termasuk mengendalikan dan mengarahkan hasrat seksual kita. Manusia berbeda dari binatang. Akal dan budi inilah membedakan kita dari binatang. Binatang hidup berdasarkan naluri atau insting atau keinginannya saja.



Chastity ialah gaya hidup baru yang dapat kita terapkan untuk menemukan cinta sejati. Karena cinta sejati bukan hanya soal seks, melainkan cinta sejati adalah soal pengorbanan diri, pemberian diri secara total, bebas, setia dan berbuah. Dan hanya orang-orang yang mampu mengendalikan hasrat seksualnya yang mampu untuk menemukan makna cinta sejati itu.


Let’s make chastity as our lifestyle!


“Only the chaste man and the chaste woman are capable of true love.” Pope John Paul 2


m0n
JCLU


Source : TOB for teens leadership training video chapter 2.

Sunday, January 3, 2010

Naked without Shame - Theology of the Body series

Kali ini, kita akan berbicara tentang tubuh, body.
Pernahkah anda telanjang? Telanjang bulat maksud saya? Pasti pernah saat mandi, bukan? Dan, cobalah bercermin. Apa yang anda lihat? Anda melihat diri anda, secara fisik. Ada kepala, tangan, kaki, tubuh, anggota tubuh dan organ seks.

Is body that bad?
Waktu saya masih kecil, saya pernah berpikir, buat apa sih kita pake baju? Kenapa sejak awal, tak perlu ada yang namanya baju? Bisa hemat sumber daya alam tekstil juga kan? Saya memiliki beberapa keponakan yang masih kecil, usia TK. Setelah mandi ia segera berlarian keluar. Lalu saya bilang ke anak itu, “eh, pake baju dulu donk. Malu. Malu. Ntar masuk angin lho.” Malu. Kita memakai baju agar tidak malu. Malu akan apa? Malu biasanya kita rasakan bila ada sesuatu yang buruk dari kita, diketahui orang lain. Lalu kita memakai baju, agar tubuh kita ditutupi. Lalu, apakah tubuh kita itu sebegitu buruk atau sebegitu memalukannya sehingga harus ditutupi?

Awal mula penciptaan
Jika anda melihat gambar Adam dan Hawa, mereka pasti digambarkan telanjang. Namun, Adam dan Hawa yang telanjang itu, hidup bersama, telanjang bersama, dan mereka tidak merasa MALU. Saya ulangi, mereka TELANJANG tetapi tidak merasa MALU. Naked without shame. Terdengar aneh, bukan?
Telanjang tanpa malu inilah yang pada mulanya ada dan diciptakan Tuhan, sebelum dosa masuk dalam hidup manusia awal.

Telanjang
Ketelanjangan menjadi sesuatu yang laris manis zaman sekarang ini. Iklan dan barang dagang menggunakan model wanita seksi untuk menarik perhatian dan konsumen. Hal ini menunjukan bahwa ada kebingungan manusia mengenai tubuh mereka.

Pada awalnya, Adam melihat Hawa telanjang, Hawa tidak kabur. Saat itu, manusia belum berdosa. Segalanya masih kudus, murni. Termasuk Adam yang melihat pasangannya telanjang dengan pikiran, motivasi, hasrat seksual yang murni, pure. Oleh sebab itu, tidak ada kebingungan dalam diri Adam untuk membedakan antara ‘love’ dan ‘lust’.
Adam tidak merasa canggung atau malu melihat tubuh pasangannya. Dan begitu pula Hawa melihat Adam. Mereka tidak menutupi tubuhnya karena mereka saling memandang sebagai ‘subjek’, seperti yang dikatakan di chapter sebelumnya.

Rasa malu merupakan perasaan yang muncul untuk melindungi diri. Manusia telanjang bila dilihat orang, akan malu. Karena mereka takut martabatnya dimanipulasi atau dimanfaatkan oleh orang lain. Paus mengatakan bahwa rasa malu merupakan proteksi diri dari ancaman orang lain atau self-defense.

Dan Adam dan Hawa tidak takut dijadikan objek satu sama lain, karena bagi mereka, ketelanjangan adalah panggilan untuk saling memberi. Cinta diantara Adam dan Hawa adalah cinta yang murni. Paus Yohanes Paulus 2 mendefinisikannya sebagai: original nakedness.


Original nakedness
Original nakedness atau ketelanjangan asali, merupakan panggilan dasar manusia. Paus Yohanes Paulus 2 menunjukan kepada kita bahwa ketelanjangan asali merupakan kunci utama untuk mamahami secara penuh dan komplit rencana awal Allah bagi kehidupan manusia. Ketelanjangan asali ini tidak memalukan. Mengapa? Karena mereka tidak memanipulasi martabat pasangannya.

Telanjang tanpa malu ini tidak ada kaitannya dengan anak kecil yang tidak malu kalau telanjang. Dengan kata lain, original nakedness ini, tidak berada dibawah kontrol psikologis manusia. Dan menjadi sulit bagi manusia sekarang untuk memahami makna sebenarnya tentang ketelajangan ini, karena setan telah memutarbalikkan fakta mengenai tubuh manusia.

Dosa telah membuat manusia kehilangan kemampuan untuk memahami ketelanjangannya. Ketelanjangan dianggap sebagai sesuatu yang buruk sehingga harus ditutupi. Dan tubuh manusia pun diartikan sebagai sesuatu yang buruk. Sesuatu yang bisa memancing hasrat seksual, sesuatu yang menimbulkan dosa.

The meaning of your BODY
Lalu, jika tubuh sebegitu sering digunakan setan untuk membuat kita jatuh dalam dosa, buat apa Tuhan ciptakan tubuh kita? Apa gunanya, kalau hanya bisa jadi penjatuh ke dalam dosa? Apa makna tubuh kita? Apa makna tubuhmu? What’s the meaning of your body?
Apa yang bisa anda lakukan dengan tubuh anda? Berolahraga, bekerja, bermain, bertemu orang-orang lain, dll. Saya tidak bisa membayangkan diri saya bila tanpa tubuh, saya hanya berupa roh yang melayang-layang, seperti Casper mungkin? Atau lebih buruknya tanpa wujud, tanpa rupa. Saya rasa semua orang atau semua roh akan nampak sama saja bukan?

Lalu apa gunanya Tuhan memberi kita tubuh? Tubuh kita bisa kita gerakkan sesuka kita. Bila kita sedih, kita bisa mengekspresikannya dengan berwajah muram. Bila kita senang kita bisa loncat-loncat, teriak-teriak gembira, berwajah ceria. Kita mengekspresikan diri kita lewat tubuh. Begitu pula dengan panggilan hidup setiap dari kita (yang sudah dibahas di chapter 1, created for love). Kita dipanggil untuk mencintai. Maka, Tuhan menciptakan tubuh kita menjadi sarana kita dapat saling mencintai dan mengasihi. Tidak hanya mengasihi sesama dengan keberadaan kita disampingnya saat teman kita sedih. Tetapi juga bisa menjadi sarana memuliakan Allah. Kadang saya ke gereja tidak membawa apa-apa. Hanya bawa badan. Ya, dengan badan inilah kita bisa hadir di gereja, kita bisa bernyanyi memuji Tuhan, bergerak, menari untuk Tuhan, melayani Tuhan, semua dilakukan dengan TUBUH kita. Spiritualitas Kristiani dilaksanakan lewat tubuh.


JESUS
Alkitab berkata: Allah adalah Roh. Jika demikian saja, rasanya akan sulit bagi kita untuk memikirkan Allah, apalagi memahami Allah. Dan bila kita berpikir tentang pribadi Allah dalam diri Tuhan Yesus, maka kita bisa sedikit membayangkan tubuh manusia laki-laki yang berjanggut, memakai jubah, dsb. Katekismus berkata: dalam “Badan Yesus” kita melihat, Allah kita dibuat kelihatan, sehingga kita ditangkap dalam kasih Allah yang tidak dapat kita lihat. Kristus menjadi kunci jawaban atas tubuh yang Allah ciptakan.


Male and Female
Lebih dalam lagi, seperti yang dikatakan pada chapter sebelumnya, tentang seks yang memaknai diri kita, Tuhan menciptakan kita pria dan wanita. Laki-laki dan perempuan. Saya juga pernah bertanya dalam hati: kok saya lahir sebagai cewek ya? Kenapa ga cowok aja, Tuhan?

Dosen saya pernah bertanya, apakah perempuan itu? Jawabannya, perempuan adalah seseorang yang berpotensi sebagai istri dan seorang ibu. Ya, karena dalam tubuh wanita, terdapat sel telur yang mampu menghasilkan kehidupan baru. Kehidupan manusia baru yang begitu menakjubkan dan sungguh merupakan karya Allah sendiri.

Maka sebenarnya, secara tidak langsung, fungsi segala organ tubuh wanita mengarahkan wanita untuk dapat melahirkan anak dan mengurus anak. Dengan buah dadanya, ia menyusui. Dengan kelemah lembutannya, ia memberi cinta pada keluarganya.

Sedangkan pada pria, pria dapat menghasilkan sperma yang memberi kehidupan. Dosen berkata, pria adalah seseorang yang berpotensi sebagai suami dan seorang ayah. Dan fungsi segala organ tubuhnya, mengarahkannya menjadi seorang ayah yang memberi proteksi, perlindungan dan rasa nyaman bagi keluarganya.

Dan seksualitas kita, laki-laki dan perempuan, tidak berhenti sampai sini saja. Ini merupakan gambaran dari hubungan Allah dan umatNya, GerejaNya. Mengapa sering dikatakan: Allah adalah mempelai pria dan Gereja mempelai wanita? Hal ini tidak dikatakan begitu saja, tetapi memiliki makna yang lebih dalam. Dan makna ini hanya dapat ditemukan pada diri kita, pada seksualitas kita.

Allah sebagai mempelai pria maksudnya Ia yang menjadi sumber atau PEMBERI kehidupan seperti pria yang memberikan sperma. Dan Gereja menerima KEHIDUPAN, berkat, cinta yang Allah berikan, layaknya wanita yang menerima sperma saat pembuahan.
Maka tak akan pernah seorang wanita hamil, tanpa ada pria yang memberikan sperma, kehidupan baru tak akan muncul. Begitu pula Gereja yang sangat butuh, bergantung dan hanya berharap pada Allah, Sang Pemberi, Sumber segala sesuatu.

Luar biasa bukan, makna tubuhmu! Kita lahir sebagai laki-laki atau perempuan, bukanlah suatu yang kebetulan atau Tuhan bentuk secara random. Tetapi memiliki makna mendalam dibalik itu.



Maka, sekarang rasanya Paus menjawab pertanyaan saya, mengapa manusia harus memakai baju? Ia menjawab: karena tubuhmu terlalu berharga sehingga harus ditutupi. Seperi mobil tetanggamu yang ditutup atau dimasukkan ke garasi, terlalu berharga bila diletakkan di luar rumah, nanti dicuri atau dibaret orang.




Sumber: Jason Evert, Theology of the Body for teens chapter 3; bahan pengajaran Camping Rohani dari Fr. Albert, CSE :D

Thursday, November 26, 2009

Love Defined -Theology of the Body series

Love defined

What is love?
Banyak orang berbicara tentang cinta sejati atau true love’. Tapi apakah itu? Paus Yohanes Paulus 2 menjelaskan: “Karena cinta, bukan saja tentang perasaan, tetapi cinta adalah keputusan untuk melebih dulukan kebaikan bagi orang lain daripada kebaikan untuk dirinya sendiri.” Dengan kata lain, cinta tidak berhenti sampai pada perasaan, tetapi cinta selalu mencari yang terbaik bagi orang lain.


Loving Vs. Using
Sepasang anak muda yang telah berpacaran lama, tergoda untuk melakukan hubungan seksual diluar nikah. Laki-laki berkata kepada perempuan, “jika kamu benar-benar mencintai saya, tunjukkan! Tunjukkan kalau kamu benar-benar mencintai saya dengan mau berhubungan seks dengan saya.” menurut anda, apakah itu cinta sejati? Tentu saja bukan! Laki-laki itu bukan menunjukkan bahwa ia mencintai perempuan, tetapi, ia malah memanfaatkan perempuan itu.

Paus Yohanes Paulus 2 mengatakan bahwa, lawan dari cinta adalah memanfaatkan. Mengapa? Karena dalam mencintai, kita memberi dengan tulus, tetapi jika kita memanfaatkan, maka kita mengambil dengan paksa sesuatu yang bukan milik kita dari orang lain. Dan dalam konteks seperti cerita diatas, jika pasangan itu melakukan hubungan seks, maka mereka bukan menunujukkan ‘love’, melainkan ‘lust’. “Love seeks to give; lust seeks to get.” John Crudele

Ketika kita memanfaatkan orang lain, maka orang tersebut menjadi objek. Sementara, dalam saling mencintai, pasangan atau orang yang saling mencintai itu harus memandang yang ia cintai sebagai subjek. Bukan objek!


Paus Yohanes Paulus 2 mendefinisikan cinta dan menghubungkannya dengan nilai yang diperoleh dari kemurnian, kesucian atau yang dalam bahasa inggris dinyatakan lewat kata: Chastity. “Chastity is the sure way to happiness.”


Chastity is the sure way to happiness
Chastity bisa diartikan sebagai hidup dalam keadaan murni, suci. Hm..?? Suci? Mungkin kita berpikir kepada kehidupan para rahib yang siang malam berdoa, pantang dan puasa. Serta sederet larangan Tuhan yang harus kita jalani setiap hari. Atau anak muda yang mendengar kata kesucian atau kemurnian lalu berpikir kearah larangan-larangan untuk bergaul atau berhubungan dengan lawan jenis. Atau ekstremnya, penekanan segala hasrat, termasuk hasrat seksual dalam diri (sexual repression). Lalu, dimana letak kebahagiaan seperti yang dikatakan: ‘Chastity is the sure way to happiness’?

Sepasang kekasih sudah lama berpacaran. Mereka merasa bahwa mereka cocok satu sama lain dan mereka benar-benar sudah sehati. Mereka memutuskan untuk tinggal bersama diluar ikatan pernikahan dan berhubungan seks selayaknya suami istri. Apa yang mereka lakukan bukanlah cinta, karena tidak memberikan yang terbaik bagi sesamanya. Dan mereka tidak berkomitmen untuk saling mencintai (yang dikukuhkan dalam ikatan pernikahan), tetapi mereka setuju atau mau untuk ‘memanfaatkan’ dan ‘dimanfaatkan’.

Mereka tidak lagi hidup dalam kemurnian, atau tidak lagi dalam ‘chastity’ itu sendiri. Tetapi, mereka berpikir bahwa mereka sudah saling mencintai. Lalu, apakah ‘chastity’ itu adalah lawan dari ‘love’? apakah kemurnian atau kesucian itu membuat kita tidak lagi boleh mencintai atau jatuh cinta?

Dalam mencari arti dari kata ‘chastity’ ini, saya coba melihatnya di kamus bahasa Inggris Oxford. Kamus bisa dibilang mewakili pendapat umum mengenai makna yang biasa dipahami oleh orang banyak. Saya menemukan kata ini: ‘Chastity belt’. Tertulis artinya: ‘a device worn by some women in the past to prevent them from being able to have sex.’ Saya terkejut membaca ini. Kalau begini, bisa dikatakan bahwa ‘chastity’ menjadi suatu penghalang untuk berhubungan seks yang notabene menjadi hasrat keinginan nomor satu orang-orang tertentu.

Inilah pandangan yang salah yang ingin diubah oleh Paus Yohanes Paulus 2 dalam Theology of the Body. Makna dari ‘chastity’ atau kesucian atau kemurnian telah berubah, tepatnya maknanya merosot ditarik oleh pemikiran pribadi manusia yang mengubah arti kesucian itu. Chastity atau kesucian, bukanlah suatu penekanan diri sendiri atau sesuatu yang menakut-nakuti kita. Jika kita ingin memahami tujuan dari kemurnian atau kesucian ini adalah untuk melatih kehendak kita untuk memilih mana yang baik dan benar. Dan kesucian erat hubungannya dengan cinta atau ‘love’.


Chastity: guardian of LOVE
Chastity adalah sifat yang mengarahkan hasrat dan sikap seksualitas kita kepada kebenaran cinta. Chastity atau kesucian selalu mencari untuk mencintai dan bukan untuk memanfaatkan. Dan kesucian ini dapat membuat kita menolak untuk merampas apa yang bukan milik kita dari orang lain. Dan dengan adanya pandangan tentang kesucian atau chastity yang benar ini, maka chastity atau kesucian tidak lagi seperti yang dipikirkan selama ini, yaitu melarang kita untuk menjalin hubungan lawan jenis, tetapi chastity (kesucian) mengarahkan kita kepada hubungan yang sehat dan kepada cinta yang otentik. Dengan memiliki sikap hidup yang suci dan berkehendak murni, kita semakin dapat memahami arti cinta itu. Oleh karena itu, Paus Yohanes Paulus 2 berkata, “Only the chaste man and the chaste woman are capable of true love.”


“Purity is a requirement of love. It is the dimension of its interior truth in man’s heart.”

“When you decide firmly to lead a clean life, chastity will not be a burden on you: It will be a crown of triumph.”

m0n
JCLU

Source: Jason Evert, Theology of the Body for teens chapter 2 and bahan pengajaran Camping Rohani dari Fr. Albert, CSE, http://www.catholiceducation.org/articles/marriage/mf0073.html

Paus Yohanes Paulus juga bicara dalam hal ini, tentang krisis seksualitas yang terjadi masa ini. Dewasa ini, banyak orang salah mengerti tentang seks. Seks hanya dilihat sebagai nafsu, sehingga banyak orang dijadikan objek dari nafsu seksual. Paus dengan tegas menyerukan bahwa seks adalah kuasa untuk mencinta. Seks berkaitan dengan eksistensi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Wednesday, November 25, 2009

Created for Love -Theology of the Body series

Created for love

L.O.V.E.
Love. Cinta. Siapa tidak mengenal kata cinta? Siapa tidak pernah merasakan yang namanya cinta? Anak-anak kecil pun sudah bisa berpendapat jika ditanyain apa itu cinta. Cinta menjadi topik yang paling laris manis. Di Indonesia saja terdapat ratusan bahkan ribuan penyanyi yang menyanyikan lagu cinta, ratusan film sinetron yang bertemakan cinta, entah itu cinta terlarang, cinta monyet, cinta sejati, atau apapun. Padahal topiknya hanya satu, yaitu cinta.

Mengapa cinta menjadi topik yang paling hangat dan tak akan pernah kehilangan nilai jualnya? Jawabannya terdapat pada diri anda sendiri! Karena pada dasarnya, setiap manusia,termasuk anda, diciptakan oleh Tuhan berlandaskan cinta. Dan setiap manusia dipanggil untuk mencintai.

Dikatakan bahwa manusia diciptakan seturut gambar dan rupa Tuhan. Dan Alkitab juga berkata bahwa: GOD is LOVE. Allah adalah kasih. Maka sudah seharusnya cinta itu ada didalam diri manusia.


Loves Equals Communion
Kita, manusia, diciptakan seturut citra Allah yang adalah kasih, maka sudah menjadi kodrat dan sudah selayaknya dan bahkan seharusnya manusia hidup dalam cinta kasih. “Man cannot live without love.” JP2

Sekarang, ketika cinta atau kasih itu kita rasakan, cinta itu pasti tidak berhenti pada diri kita sendiri. Cinta tidak pernah terisolasi. Ketika ada cinta, maka pasti ada yang mencintai dan ada yang dicintai, dan cinta diantara mereka. Pasti ada persekutuan/hubungan antar manusia, hubungan yang dieratkan oleh cinta, dan mereka saling memberikan dirinya dalam cinta. Maka, kasih atau cinta itu sama dengan bersekutu, koinonia. Seperti sifat Allah Tritunggal, ada Bapa, ada Putra dan juga ada Roh Kudus sebagai api cinta pengikat diantaraNya.

Itulah sebabnya, Allah berkata, “tidak baik bila manusia itu sendirian saja.” Sebab, manusia membutuhkan pendamping hidupnya untuk saling berbagi dan saling memberi. Gereja mengajarkan, “Manusia dapat dengan penuh memahami citra dirinya sendiri hanya dalam pemberian tulus dari dalam diri sendiri.”

Mother Teresa berkata, “Life is not worth living unless it is lived for others.”


Nothing hurts like love – Daniel Bedingfield
Jika setiap manusia dipanggil untuk mencintai, maka seharusnya cinta itu menghasilkan sesuatu yang baik bukan? Tetapi kadang sebaliknya. Tidak sedikit jalinan cinta kasih suami istri yang terputus alias bercerai dan meninggalkan luka, kekesalan, dendam dalam lubuk hati masing-masing. Banyak anak muda yang baru belajar mengenal cinta dari lawan jenis nya mengalami broken heart atau patah hati dan mengakibatkan hilangnya makna hidup dan tak sedikit yang hidupnya jadi hancur berantakan.


Mengapa?
Semua ini berasal dari satu pilihan yang berakibat fatal. Yaitu pilihan yang didasari ketidakpercayaan pada Allah. Yaitu pilihan yang dipilih oleh Adam dan Hawa untuk memakan buah terlarang. Mulai dari situ, semua manusia memiliki dosa asal. Setiap bayi yang baru lahir, sudah memiliki hutang dosa. Dosa memutuskan hubungan manusia dengan Tuhan.

Hubungan manusia yang sudah terputus itu, sudah didamaikan kembali oleh yang namanya cinta. Yaitu cinta yang Yesus tunjukkan diatas kayu salib 2000 tahun yang lalu untuk membayar lunas setiap manusia dari hutang dosa. Yesus sendiri berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Yohanes 15:13.

Kasih dari Allah adalah kasih terbesar yang pernah ada. Kasih yang tiada duanya. Allah menawarkan kasih yang begitu tulus dan tidak bisa diperoleh dari manusia manapun juga.


Created for love
Seperti Yesus, kita dipanggil untuk mencintai. Dan mencintai itu tidak pernah mudah. Jika kita mencintai, maka kita memberi. Jika kita memberi, maka ada sesuatu yang diambil dari kita, bisa banyak bisa sedikit. Dan dalam proses mencinta atau proses ‘pengambilan’ itu bisa dilakukan dengan lembut atau dengan kasar, sehingga tak jarang menimbulkan luka. Luka yang tidak mudah hilang dan bahkan berbekas. Itulah konsekuensi dari cinta.

Dan konsekuensi itu tidak dihadapkan pada pertanyaan ‘apakah saya bisa?’, tetapi seharusnya pada pertanyaan, “apakah saya mau?” Dan ketika kita putuskan untuk mencinta, maka kita masuk dalam suatu proses yang tidak ada habisnya. Yaitu proses menjadi diri kita. Mengapa? Sebab, semakin kita mencintai, semakin kita menjadi diri kita. Because, we are created for love.


Definisi cinta?
bersambung ke chapter selanjutnya: ‘Love defined’


m0n
JCLU

Source: Jason Evert, Theology of the Body for teens chapter 1. And the talks tonight in ‘love 101’ with my community PDKM St. Alfonsus.

Friday, November 20, 2009

Introduction to Theology of the Body - Theology of the Body series

Theology of the Body – Teologi Tubuh

Body
Dalam suatu Misa muda-mudi, seorang Pastur dalam khotbahnya bercerita masa lalunya tentang seorang gadis yang ia kenal. Pastur itu berkata, “… Saat itu, saya melihat tubuhnya…” para muda-mudi yang mengikuti Misa lalu berseru dan berpikiran macam-macam. Lalu Pastur itu melanjutkan, “… tunggu dulu jangan berpikiran macam-macam kalian. Saat ini kalian melihat tubuh saya juga kan? Saya melihat tubuh kalian juga kan?...” Dan seterusnya.

Tubuh. Apa yang muncul dipikiran anda saat mendengar kata’TUBUH’? Mungkin anda akan berpikiran kearah yang berbau duniawi, mulai berfantasi, yang pria mungkin berpikir tentang tubuh wanita, yang wanita merasa tersinggung atau juga membayangkan seorang pria. Mungkin.


Theology
Sekarang, jika saya mengucapkan kata: ‘Teologi’. Apa yang muncul di benak anda? Mungkin anda akan berpikiran tentang: Tuhan, ajaran Gereja, ajaran agama, sesuatu yang berbau rohani dan sulit dipahami? Mungkin saja.


Theology and Body
Lalu, apa yang anda pikirkan jika saya menggabung kata-kata diatas? Kata TEOLOGI dan kata TUBUH? Mungkin anda akan mulai meletakkan kata TEOLOGI di ujung sebelah kiri dan kata TUBUH di ujung sebelah kanan. Rasanya dua hal ini adalah hal yang jauh berbeda, bukan?

Seks. Apa yang muncul dalam pikiran anda jika mendengar kata seks? Sesuatu yang ‘taboo’? Sesuatu yang kotor, rendah, sesuatu yang menghalangi kita mencapai kesucian? Banyak orang berpikir bahwa seks adalah suatu tindakan, hawa nafsu. Sehingga banyak sekali orang yang terikat oleh hasrat seksual dan tidak sedikit orang yang menjadi korban atau objek seksual.

Lalu, apa yang muncul dalam pikiran anda bila mendengar: Ajaran Gereja Katolik akan Seksualitas. Mungkin anda akan membayangkan isi ajaran itu adalah: Jauhi hal-hal itu atau neraka menanti anda!

Namun, ada seorang Katolik yang berhasil menguak kebenaran akan arti seksualitas manusia, keberadaan manusia(human existence), tubuh manusia, panggilan dasar manusia dan masih banyak lagi, dalam ajaran: Theology of the Body. Dalam ajaran beliau, anda akan menemukan keindahan dan tujuan dari seksualitas anda, dan anda akan mengetahui bahwa sesungguhnya Gereja mengajarkan bahwa seksualitas manusia adalah sesuatu yang sangat-sangatlah penting, baik, dan indah. Beliau adalah seorang yang tidak asing bagi umat Katolik abad 21, Karol Wojtyla, atau yang lebih kita kenal dengan Paus Yohanes Paulus II.

Beliau memberikan 129 pertemuan pada setiap hari rabu, pada masa jabatannya sebagai Paus, tepatnya sekitar tahun 1979 sampat 1984, yang akhirnya disebut: Theology of the Body.

Theology of the body memiliki tema sentral pada seksualitas. Mengapa seksualitas? Karena pada masa ini, tidak banyak orang yang memahami makna seks yang sebenarnya. Makna seks telah bergeser, terjadi krisis seksualitas, seperti yang sudah dibicarakan diatas. Seksualitas itu bukanlah soal apa yang kita lakukan, tetapi seksualitas itu adalah soal siapa diri kita sebenarnya. Seks adalah sarana yang luhur yang memungkinkan terlaksanya kehendak Allah dalam diri manusia. Dan tubuh bukanlah sesuatu yang kotor, yang rendah, yang menghalangi manusia mencapai kesucian, tetapi tubuh adalah Sakramen, dimana Tuhan menyatakan dirinya dalam kita, pria dan wanita.

Paus Yohanes Paulus II berkata: “Badan. Dan hanya badan yang sanggup membuat yang tidak kelihatan (yang rohani dan yang ilahi), menjadi kelihatan. Badan diciptakan untuk menghantarkan misteri kekal yang tersembunyi Allah ke dalam realitas dunia yang kelihatan, dan karena itu menjadi tanda atasnya.”

Paus mengajak kita untuk memahami seks dengan kembali pada kitab suci, bagaimana rencana awal Allah tentang seksualitas dan tubuh kita. Allah menciptakan manusia dengan seksulitas dan tubuhnya sebagai suatu yang indah dan mulia.

Theology of the body membimbing kita menuju kebahagiaan dan keberhasilan dalam menjalin hubungan persahabatan dan hubungan lawan jenis dengan mengetahui makna seksualitas kita. Theology of the body juga mengubah pandangan-pandangan yang salah, seperti: pemahaman bahwa tubuh adalah kotor dan sesuatu yang tidak baik, hasrat seksual kita ada sesuatu yang harus diabaikan, menjadi suatu pemahaman bahwa tubuh kita dan keinginan-keinginan dalam tubuh kita sebenarnya mengarahkan kita kepada tujuan dan arti hidup kita!

Tuesday, September 22, 2009

Avoiding the Fall!!!

Again, this is the TOB for teens assignment. This assignment is:

Write a ‘back to the future’ story. Imagine that you and another person are actually Adam and Eve and living in the Garden of Eden. Then imagine that you know all the information that you know today about the temptation of the devil (the snake), the Fall, and the baggage that comes with original sin. Here’s the catch: You have this knowledge but your spouse doesn’t. and there’s only one week before the Fall takes place. You have a job to do: Avoid the Fall! Write a creative, pure, and humorous message to your spouse in the Garden that pledges your love and simultaneously attempts to avoid the upcoming “FALL.”

Sound great, right? Seru yah! Let’s do this!

Dear Adam (hihi),

Hi, the sexiest man alive in this world (yeah, you’re the only man lived, lol). I’m very happy with the life we’re now going through. I love the beauty of life and this nature we live in that God’s created for us. And I also love the creatures God has made, especially you (weks… haha…). I really enjoy every moment we shared together in the pure love which God put in us.

But you know what, darling. I heard that this pure love and happiness will end next week! I heard them saying: the Fall, the Fall. I don’t know what it is but they said that this will end our happiness. I heard that, after the Fall, there’ll be no pure love and we’ll feel shame. I don’t know what it’s like. They said that we’re living a ‘naked without shame’ life now. And after the Fall, we’ll feel ashamed if we’re naked.

Then I asked more, why we’ll feel ashamed. They replied me that, it’s because the Fall will affect us the weakness of lust. Then, we’ll seeing each other as object of our lust. Lust is the opposite of love. After the Fall, it’ll be hard for us to distinguish love and lust. Well, they also said that it must be very strange for us to understand it now, since we’re looking each other as subject not as object for our self.

And after the Fall, the meaning of sex with change! Sex will not be a true love anymore; sex will not be an original unity anymore. They will have sex to express their lust, but God said that sex is to express the FTFF love (FTFF: Free, Total, Faithful, Fruitful). Sex loses its sacredness and mystery. Sex will be a recreational activity instead of wonderful gift to be cherished.

Oh, sweetheart, I’m afraid to hear that! I don’t want our pure love and original happiness ended. I don’t want our perfect love changed with lie. We need to trust God more. Because I heard that the Fall was caused by our lack of trust in God. It’s because we (you: Adam and I: Eve), choose to serve our own wills than to God’s will. And this is called original sin which will last forever, generation to generation.

The Fall next week, we’ll be started by the snake! You know what, I’ve smelt that the snake was evil. Yesterday, I accidentally heard the snake’s plan. He plans to give me the fruit from the forbidden tree! Which after eating the fruit, we will be sinned against God. But at first he will offer me and told me that God said that we can eat all the fruit in this Garden. Hm… it’s wrong, right? Before we eat the fruit, he’ll convince me that if God had things His way, we would live miserably, but actually it’s vice versa!

Adam, we have to avoid the Fall! Let’s make a plan. Next week, before the D-day, let’s put some pure love poison in the forbidden tree. You know what, devil hates love, more over pure love, haha. I will make a pure love poison which will make the snake fall in love. And your job, Adam, is to find a female snake. So, after closing the tree, the evil snake will become in love and after meeting the female snake, he will fall in love to the female snake, then they’ll live happily under pure love also… hahaha… isn’t it a great plan??? So, the Satan will never turn human race to sin since the forbidden tree is poisoned with pure love also. And I will water the forbidden tree with pure love water, so, anyone who even gets close to the tree will feel love and trust God 100%, so, the Fall will never happen!

Reply my email ASAP. Let me know what you’re thinking about this too, hon.

With full and pure love,

Eve