Pages

This blog has been moved to www.m0njc.wordpress.com

Tuesday, June 17, 2008

Theology of the Cross

'Theology is theology of the Cross, nothing else.' Begitulah teologi para pengikut Luther. Maksud Luther mengungkapkan teologi salib ini adalah untuk menentang teologi yang lain, Theology of the Glory, teologi kemuliaan.

Kali ini, saya cukup setuju dengan Luther tentang teologinya ini. Dan begitu pula dengan banyak santo-santa yang secara tak langsung mempraktekkan teologi ini secara tidak langsung, yaitu dengan melakukan matiraga habis-habisan, pantang puasa, dll. Ya, hidup seorang pengikut Kristus, wajib, harus, kudu, sama dengan hidup Kristus, yaitu turun ke dunia yang kacau dari Surga yang bahagia, taat sebagai manusia, dan mati di Salib. Penderitaan. Salib.

Ya, kemuliaan Yesus bukan saat ia bersama murid-muridNya, tetapi saat di Kalvari.


“Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” Luke 9:23

Senin kemarin, saya menerima Sakramen Krisma. Sudah sekitar 1 bulan, saya terus menanyakan Tuhan, “Tuhan, apa sih sebenarnya yang dimaksud dewasa rohani? Kita menerima Sakramen Krisma berartimenjadi warga Gereja yang dewasa. Apa artinya? Saya benar-benar tidak mengerti, tidak punya gambaran. God, show me the answer, pliz.”

Ya, cukup lama saya bertanya-tanya. Saya sampai sedikit ketakutan, jangan sampai setelah menerima Sakramen Krisma, saya masih belum tahu apa itu artinya dewasa rohani, tak ada waktu untuk mengundurkan diri didetik-detik terakhir. Dan akhirnya, pagi hari pada hari senin itu, Tuhan menjelaskan jawabannya. Dan jawabannya adalah ayat itu. Penjelasan ayat itu saya rasa adalah Teologi Salibnya Luther.

Begitu pula yang dilakukan oleh St. Fransiskus Asisi, santo pelindungku yang baru kupilih untuk Krisma. Meninggalkan semua ‘glory’ yang ia punya, dan menempuh hidup yang bener-bener cari masalah, ‘Cross’.

Menjadi Katolik yang dewasa, berarti berani memikul salib sehari-hari. Itu saja kog, simple dan susah bukan?


It will be my Cross

Hanya dalam waktu seminggu setelah Sakramen Krisma itu, saya mendapat kabar buruk. Saya mendapatkan salib yang bagi saya cukup besar dan memusingkan untuk kelas 3 nanti. Jadi, dikelas 3 nanti, setiap murid, baik jurusan ipa, ips, bahasa, wajib membuat sebuah karya tulis. Well, saya agak excited awalnya. Topik karya tulis itu tergantung dari guru mata pelajaran apa yang kamu dapat. Saya sangat-sangat berharap mendapatkan guru agama atau guru TI. Kalo agama, sumbernya tinggal buku Scott Hahn, sudah cukup berat, sumber wawancara tinggal jalan ke pastoran. Kalau TI, yah, saya sukalah, pasti dengan semangat membuatnya.

Dan ternyata, karya tulis yang saya pikir saya akan semangat mengerjakannya, menjadi salib bagi saya. Salib yang juga adalah kelemahan. Saya mendapat guru matematika sebagai pembimbing karya tulis. Nightmare. Kenapa harus mat? Itu yang saya tanyakan ke Tuhan, karena kita tidak bisa memilih guru pembimbing, maka saya yakin, Tuhan pasti pasti pasti memberi yang terbaik. Dan yang terbaik untuk saya dari Tuhan, adalah matematika. Ya, saya sangat suka matematika, sewaktu sd atau smp. Tetapi, matematika yang dulu menjadi nilai andalan, sekarang menjadi nilai yang sangat sulit diperjuangkan. Matematika adalah pelajaran program ipa saya yang paling jelek nilainya. Selama 2 tahun di sma.


Ooooohhhhhhh………………….

Jujur saja. Kalau disuruh pilih, pasti tidak akan ada anak yang memilih matematika untuk karya tulisnya dan tidak ada anak yang menyerukan “Yes, saya dapat matematika!”. Tetapi, sedikit di dalam hati saya, entah mengapa ada sedikit rasa bahagia. Bahagia karena saya tahu, Tuhan bekerja dalam hidup saya dengan kelemahan saya. Matematika, nilai yang pas-pasan, paling jelek, paling rendah, paling susah, remedial 5 kali dari 8 ulangan, menjadi suatu kelemahan yang mana atasnya Tuhan bekerja.


Saya sangat berharap, setelah saya akan menghabiskan liburan dan kelas 3 saya dengan kalkulus dan kawan-kawan, saya akan kembali mencintai matematika dan kembali mendapat nilai yang baik dalam pelajaran matematika. Yeah, Jesus cares to my math score. And He wants to change my math score. Bukan hanya saya yang ingin nilai matematika saya menjadi baik, tetapi Tuhan juga ingin.

Dengan mengetahui teologi Salib, saya semakin yakin. Dengan karya tulis math itu, saya akan semakin sering menyentuh hal-hal tentang matematika yang bagi saya adalah salib. Dengan demikian, semakin sering saya memikul salib matematika saya dan menjalani Theology of the Cross. Amen.
JCLU
F.A.m0nJC

Live-In 2008....ow yeah...

June 2008
Live-in

Yup, Senin, 26 Mei 2008 yang lalu, selama 12 jam saya bersama teman-teman sekolah harus duduk di bus sampai ‘teposh’. Ngapain? Pergi kemana naik bus? Kami hari itu berangkat ke Yogyakarta, tepatnya di kabupaten Sleman untuk menjalani hari-hari di pedesaan yang setiap tahun diadakan oleh SMA Santa Ursula, yang akrab disebut progam ‘Live-In’.

181 siswi berangkat disertai guru-guru pendamping. 5 hari lamanya kami semua berada di sana. Di Yogya, kami ditempatkan dalam keluarga-keluarga Katolik dari Paroki St. Yusuf Medari, Sleman. Tiap keluarga terdapat 2 siswi yang ‘belajar’ di rumah keluarga itu.

Yup, tujuan live-in ini adalah belajar, namanya saja program pembelajaran luar kelas. Maka, sayang kalau harus membuang Rp850.000,00 untuk ke Yogya kalau tidak mendapatkan sesuatu. Maka setiap siswi di rumah keluarga-keluarga, wajib mengikuti pola hidup sehari-hari keluarga di desa itu. Jika keluarga itu adalah keluarga petani, maka siswi juga akan ikut ke sawah. Jika keluarga itu tukang kayu, maka kayulah yang akan menjadi ganti pen dan buku yang biasa mereka pegang. Apapun mata pencaharian keluarga itu, baik guru, tukang kayu, pedangang, peternak, petani, dan lain-lain, tiap siswi diharapkan dapat menimba ilmu dari semua hal dan kegiatan yang sangat jarang terlihat di kota.


Yogya, here we come!

Berangkat dari Jalan Pos pukul 4 sore, tiba di Medari pukul 5 subuh. Untuk pertama kalinya tidur di bus. Sebenarnya saya mabok darat kalau naik bus, puji Tuhan, kemarin saya tidak muntah. Karena ada antimo dan rekaman petuah Bo Sanchez yang saya simpan di handphone untuk didengar sepanjang perjalanan, maka perjalanan itu terasa lebih baik daripada yang saya kira.

Setibanya di Sleman, kami berkumpul di Gereja St. Yusuf. Kami makan, dan mendengar sedikit patah kata dari Pastor Paroki Sleman yang juga ‘ngepul’, sama kayak yang di Alfonsus. Kami dijemput oleh ketua lingkungan untuk diantar ke rumah ‘keluarga baru’ kami di daerah Seyegan, dusun Margoagung.

Saya dan 3 teman, dijemput naik mobil kijang. Wew! Saya berkata dalam hati, “Jangan-jangan keluarga di desa lebih kaya, daripada yang di Jakarta”. Maka dengan sedikit pamer, sewaktu melintas di depan teman-teman lain yang belum dijemput, saya membuka kaca mobil dan melambai-lambaikan tangan dan memasang muka tersenyum licik melewati teman-teman. Well, kami menempuh jalan yang cukup jauh dan terlihat sawah dan rerumputan hijau di kiri dan kanan, serta jalan yang lurus panjang terlihat tanpa ujung, saya berpikir, “Oh, Tuhan, kog jauh amat ya? Gila! Kacau! Ga bisa balik sendiri nih kalau ada apa-apa. Kemanapun aku dibawa, kuserahkan hidupku padaMu.” Serta teringat kepada St. Fransiskus Asisi, yang akan menjadi pelindung Krisma saya yang adalah seorang perantau. “St. Francis, I’m doing your rule here.”

Maka kami tiba di sebuah rumah. Pasangan live-in saya adalah Sely, anak IPS. Memang dipasangkan dengan anak dari jurusan berbeda. Sewaktu di mobil, terlihat dari kaca, terdapat 2 tikus di rumah itu. Tikus yang dimaksud bukanlah tikus hewan, tetapi 2 anak kecil usia hiper-aktif atau balita. Kacau. Sely sepertinya juga kurang suka dengan anak kecil. Well, apa boleh buat, tidak bisa tawar menawar.

Yah, lagi-lagi keluarga pedagang. Saya dan teman saya ditempatkan dikeluarga yang dirumahnya terdapat mini-market. Ada jualan voucher pulsa juga bahkan. Padahal, saya pengen keluarga peternak atau petani lah. Wew. Sejak masih berimajinasi seperti apa live-in nanti, saya sudah tahu, bahwa keluarga seperti apapun yang nanti saya dapatkan, pasti yang terbaik dari Tuhan. Maka, melihat keadaan rumah yang ‘lumayan’ itu, saya tahu dan yakin, seyakin-yakinya, kalau itu yang terbaik dari Tuhan.

Rumahnya cukup besar, dengan mini-market di bagian depan. Menurut mereka, toko seperti itu adalah toko besar, bukan mini-market. Ada 2 kamar tidur, 1 wc, ruang tamu, ruang keluarga, tempat jemuran sekaligus kebun, serta dapur dan tempat cuci yang masih beralaskan semen. Jika kamu melihat ke atas, yang terlihat bukan prafon, tetapi atap langsung.

Keluarga itu terdiri dari seorang bapak, Bapak Sugeng, ibu, Ibu Rini, dan 3 anak kecil. Semuanya anak laki-laki, yang tertua, Gery, sudah kelas 6 sd, maka sewaktu kami tiba, ia masih bersekolah. Dan adik-adiknya berusia 5 dan 2 tahun, Fito dan Faren, adalah anak-anak yang luar biasa dan agak gaib. Mereka tergolong keluarga muda. Bapaknya saja masih sekitar 30 tahunan.

Satu hal yang membuat saya yakin kalau itu memang kehendak Tuhan berada di keluarga itu, adalah cita-cita Gery, anak pertama yang sudah kelas 6 itu untuk menjadi seorang Romo. Wow! Kami tidur di kamar Gery. Kamarnya penuh gambar Tuhan Yesus dan Bunda Maria. Teman saya berkata, “kita tidur dilihatin sama Bunda Maria dan Yesus.”. Maka, segera saya bertanya kepada Yesus, “God, what do You want me to do with this child?”. Kata bapaknya, sudah dari TK ingin jadi Romo si Gery itu. Wew, maka teringatlah saya akan seorang Pastor di Alfonsus, yang katanya dari TK ingin jadi Pastor dan mainnya ‘misa-misa-an’. Si Gery itu, kulitnya juga hitam banget, berbeda dari adik-adiknya. Haha!

Wew, kegiatan kami disana: mencuci piring, cuci baju, jaga toko, makan setiap 4 jam, nonton tipi tiap malam, main badminton, dan yang paling banyak adalah bermain bersama adik-adik. Hua3x! disebrang rumah terdapat sawah, kami sempat jalan-jalan di pematang sawah yang tentu tidak ada di Jakarta.



Tuhan, saya ingin…

Tuhan banyak mengabulkan doa saya selama live-in ini.
Pertama, saya meminta teman yang dapat berbicara bahasa Jawa. Yes! Sely iso speak Jowo. Yeyeah!
Dua, di hari kedua yang boring, saya bilang ke Sely, “Wew, padahal saya pengen dapat keluarga peternak atau petani gitu biar bisa jalan di pematang sawah gitu…”. Dan tak lama kemudian, ketika Gery pulang sekolah, kami diajak ke sawah seberang, dan tada… kami sedang berjalan di pematang sawah, hehe…

Tiga, tentang domba. Kata teman2, saya maniac domba. Ya, binatang favorit emang domba. Wew, biasa saya melihat domba di internet, itu domba2 australia yang gemuk dan lucu. Kata mbak saya, di jawa adanya domba jawa. -Ya iya lah!- Maka, saya berseru kepada Tuhan, “Tuhan, saya udah jauh-jauh ke desa. Kampung sekitar sini banyak peternak, ada domba. Tapi dekat rumah dan lingkungan ini tidak ada. Tuhan, saya ingin melihat domba secara langsung dan pegang domba dan foto bareng.”. Doa yang satu ini dikabulkannya cukup lama, setelah 2-3 hari, baru saya melihat domba di pasar, dan di rumah teman lain. Akhirnya, saya melihat dan berfoto dengan domba. Tapi ga pegang, karena bau. Ga berani dekat-dekat juga. Intinya, I see domba… hehe…

Empat. Tuhan, saya ingin misa dua kali di yogya ini. Tapi menurut jadwal, kami hanya akan misa satu kali pada hari sabtu. Tetapi pada hari pertama kami berada di sana, ternyata ada kegiatan lingkungan atau yang akrab mereka sapa, sembahyangan. Dan sembahyangan malam itu adalah misa arwah. Wow.



Hewan-hewan-hewan…

Namanya di desa, udara masih seger, lingkungan masih ijo. Banyak hewan2 yang tak pernah dijumpai sebelumnya. Waktu lagi nyuci di dapur, ada keong putih, gede. Trus ada binatang yang kita ga tahu namanya apa, karena emang baru pertama kali liat. Kayak ulat bulu, tapi nemplok di dinding. Trus, entok, bebek yang bener2 bisa baris. Dan ada satu kejadian lucu.

Suatu malam, saya belum tidur karena bingung memilih nama krisma, Francisca atau Theresia ya? Akhirnya ga bisa tidur. Lalu ada kunjungan dari seekor tawon. Tawonnya seperti kecoa terbang. Otomatis saya takut, ngumpet dibalik selimut yang saya bawa dari rumah. Bunyi desing tawon terdengar jelas. Lalu saya mulai berdoa, Tuhan, tolong singkirkan tawon itu, binatang itu menganggu tidur anakMu ini. Tapi ga pergi-pergi. Maka saya teringat akan cerita santo Fransiskus yang berbicara dengan burung, kelinci dan serigala bahkan. Maka, karena akan memakai nama santo Fransiskus, saya mencoba apa yang ia lakukan.

Saya mencoba mengusir tawon itu. Saya berkata dalam hati sambil sedikit mengintip dari balik selimut, “Hai tawon, pergilah, saya mau tidur. Dalam nama Yesus dan atas nama Bapa Fransiskus, pelindung hewan menurut Gereja Katolik, tawon, pergilah. Hus. Hus.”. Well, setelah berkali-kali diucapkan, tiba-tiba, desing suara tawon itu hilang. Saya berkata, “Wuih.. ampuh, man!”. Namun, tak sampai 1 menit kemudian, “Zzzzzingggg…” suara tawon terdengar lagi. “Yah, kayaknya kurang ampuh deh Tuhan...”



Orang Jawa, orang Jawa…
Sewaktu disana, beberapa kali kami pergi keluar. Kami pergi ke rumah teman-teman yang lain, kami pergi ke pasar dan kegiatan lingkungan. Saat bepergian itu, sepanjang jalan naik motor, -disana banyak sekali motor, orang bepergian menggunakan motor-, kami bertemu banyak orang, melewati rumah-rumah orang. Ibu saya memboncengi saya. Sepanjang jalan, ibu sering sekali tersenyum atau bilang “mongo” ke orang-orang yang berjalan disekitar. Lalu saya bertanya, “Bu, kenalan, Bu?” ibu menjawab, ”Tidak.”
Orang jawa itu ramah-ramah, lemah lembut, tukang tersenyum.


Anak-anak badung dan ‘gaib’
Fito dan Faren, kedua adik kecil di rumah itu suka dengan power rangers. Mulai dari kaos, mainan, film, semuanya power rangers dan sejenisnya. Karena bandelnya ga ketolongan, saya juga lama-lama cape maennya. Ketika mereka bermain mengikuti pukulan, tendangan, loncatan power rangers, saya hanya duduk di pojok dan berpura-pura seperti sedang bermain game Street Fighter atau Tekken, haha. Mereka ceritanya pemainnya. Mereka berbicara bahasa Jawa kepada kami. Teman saya muden, tapi saya ngak. Maka, apapun yang mereka tanyakan kepada saya, saya jawab “ya, ya” saja.

Lalu, pada hari jumat malam, Bapak kami menceritakan sejarah kedua anak super badung itu kepada saya dan teman saya. Mereka itu anak yang gaib, Fito, anak kedua, hampir dijadikan tumbal suatu ilmu hitam. Jadi, ceritanya, dulu, tetangga mereka ada yang anak perempuan 2 bulannya mati mendadak. Bapak saya ikut melayat membawa Fito. Sejak saat itu, Fito setiap malam menangis terus selama 100 hari. Sepanjang hari menangis. Suatu ketika, Bapak membawa Fito ke kuburan anak perempuan itu, dan Fito berhenti menangis. Lalu, Faren, anak terkecil. Sewaktu Ibunya hamil, perutnya sering kembang kempis. Jadi ketika pergi kegiatan lingkungan, perutnya kempis, setelah pulang, perutnya besar lagi. Demikian itu terjadi selama 7 bulan awal masa kehamilan, jadi hanya 2 bulan terakhir, Faren, tinggal di perut Ibunya.

Orang desa, memang adat masih kental. Tradisi begitu melekat. Masih banyak kejadian gaib, menyeramkan sejenis santen, guna-guna, ilmu hitam lain yang pernah mereka alami. Bapak menceritakan hal itu kepada kami, namun tak bisa semuanya saya ceritakan disini. Sebagian dari hal-hal aneh tersebut selesai karena ‘bertanya pada orang pintar’ atau paranormal kenalan, karena adat mereka masih percaya akan hal itu. Namun, ada juga yang karena kuasa Kristus. Sewaktu Bapak bercerita tentang Fito yang akan dijadikan tumbal, namun gagal, saya bertanya, “Pak, saat itu, Fito sudah dibaptis belum?”. Jawab Bapak, “Sudah, sudah dari kecil.”. Ya! Saya menyimpulkan, itulah jawaban mengapa tumbal itu gagal terjadi atas Fito, karena ia terlah dijamin, telah dimaterai oleh rahmat pembaptisan dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus.

Oh ya, bahkan saat kami di sana, ada kejadian gaib juga. Ibu kami sejak 4 hari yang lalu selalu pusing kepalanya sejak jam 6 sore sampai jam 12 malam. Akhirnya pusing itu berhenti ketika pada hari Jumat, kami bersama teman-teman dari keluarga lain, bersepuluh beserta keluarga pergi ke Gua Maria Jatiningsih. Dari sana, Bapak berdoa untuk Ibu, dibantu sepasang suami istri, orang tua teman kami yang ‘religius’ dimata mereka. Memang keluarga itu religius. Ada jadwal doanya. Tapi menurut saya mereka bergerak kearah Protestan. Setelah didoakan, kami pulang, dan kata Bapak, Ibu sembuh. Dan ibu bilang kalau ketika sakit kepalanya hilang, ada bau kemenyan di sekitar rumah. Wew. Untung kami tak ada di rumah saat itu.



Gua Maria Jatiningsih
Kami sempat berziarah ke salah satu tempat peziarahan dekat situ, Gua Maria Jatiningsih. Oh ya, ada cerita dari teman-teman yang mengikuti doa Rosario di lingkungannya. Mereka berdoa Rosario dalam bahasa Jawa, “Sembah bahkti Dewi Maria…”. Mereka menyebut Bunda Maria, Dewi Maria dan Yesus disebut, Sri Yesus.

Kami diutus berdua-dua…
Sejak awal, Suster Moekti, suster kepala sekolah, sudah berpesan, katanya, “Kalian diutus…”. Kalau boleh menambahkan, tepatnya, diutus berdua-dua, karena memang tiap rumah ada 2 utusan/anak. Maka, saya terus bertanya kepada Tuhan, Tuhan, saya hanya seminggu disini, apa yang bisa saya perbuat? Sepertinya tak banyak yang bisa saya perbuat untuk keluarga di desa, tetapi saya mendapat banyak dari desa.

Lalu pada hari Sabtu, kami semua dari Jakarta diminta menghadiri misa Krisma. Itulah kesempatan saya ikut misa orang jawa. Yang patut kita acungi jempol adalah cara berpakaian mereka yang benar-benar sopan. Sejak awal, oleh para guru, kami sudah diingatkan untuk membawa pakaian resmi satu pasang untuk menghadiri misa Krisma disana. Anak perempuan tidak ada yang memakai calana panjang ke Gereja, semuanya pakai rok. Bapak-bapak pakai batik, ibu-ibu juga pakai pakaian resmi.

Wah, kebetulan minggu depan saya akan Krisma, jadi di Yogya pengennya liat duluan misa Krisma, tapi karena hampir telat, jadi ga kebagian tempat duduk enak. Ga keliatan deh.


Bye Yogya…

Nah, akhirnya hari perpisahan. Ada sedikit rasa sedih yang kami rasakan. Untuk pulangnya, kami berkumpul di paroki lagi. Bersepuluh, kami diantar bersama. Banyak teman-teman lain yang sangat sedih sampai memeluk ibunya dan mencucurkan air mata. Nangis terisak-isak. Ntah mengapa, saya hanya sedikit berkaca-kaca saja matanya. Tapi saya senang dengan live-in ini, saya sepertinya punya keluarga di desa. Keluarga di desa Margoagung. Yang mungkin tak akan pernah ketemu lagi. Tapi, saya akan ingat selalu, khususnya kepada Gery, kalau suatu saat ia menjadi Romo, saya akan tanyakan apa dia ingat. Haha.

Kalau ditanya, apa ingin tinggal disana? Jawaban saya, ya, saya mau. Saya mau lingkungan alam yan gbegitu sejuk, hijau, enak deh pokoknya. Saya pengen juga punya tetangga-tetangga yang walaupun jarak antar rumah jauh-jauh, tapi saling kenal. Saya juga pengen, kalau di jalan, ketemu orang lalu tersenyum dan orang itu membalas senyuman saya. Saya juga pengen punya lingkungan yang begitu erat persaudaraannya. Ssay ingin membawa serta keluarga saya, rumah saya, ranjang saya, PD saya, untuk tinggal di sana saja.


Francisca Monica,
JCLU