Pages

This blog has been moved to www.m0njc.wordpress.com

Tuesday, April 20, 2010

Celibacy and Religious Life - TOB series

Celibacy and Religious Life in the light of TOB

Ketika anak remaja ditanyai mengapa tidak berminat jadi pastor/suster? Sebagian besar akan menjawab : ‘ntar ga bisa kawin’. Is it the right answer?


Celibacy and Marriage Analogy
Saya pernah makan dimsum sepuasnya dengan teman-teman saya. Menu yang kami tunggu-tunggu adalah ‘
hakau’, menu dimsum favorit kebanyakan orang. hakau sangat laku karena sangat disukai, so, harus memesan dan menunggu. Sebelum hakau datang, bakpau, lumpia, somay sudah tersedia.

Ada beberapa teman yang walaupun menunggu hakau, mereka tetap menikmati bakpau, somay, dll. ada juga teman yang hanya minum dan menunggu sang hakau datang, karena tidak ingin kenyang terlebih dulu oleh makanan selain hakau. Ketika hakau datang, teman-teman yang sudah makan terlebih dulu, mungkin sudah merasa sedikit kenyang, karena hakau datangnya lama banget. Sementara yang menunggu hakau, langsung dengan lahap menikmati seperti orang kelaparan. Anyway, kami semua puas, makan enak dan kenyang.

Teman-teman yang menunggu hakau merupakan analogi para selibater. Mereka menunggu perkawinan surgawi. Mereka tidak puas dan tidak mau menikmati perkawinan duniawi. Mereka mengkhususkan dan mempersiapkan dirinya khusus untuk perkawinan surgawi.
Sementara mereka yang makan terlebih dulu merupakan analogi orang-orang yang menikah. Mereka menikmati terlebih dulu perkawinan surgawi itu di bumi. Dan nantinya, mereka juga akan menikmati perkawinan surgawi itu.

Anyway, di Surga, kita akan mengikuti dan mengambil bagian dalam
perjamuan kawin Anak Domba Allah. Yaitu Yesus, sebagai mempelai laki-laki akan menikah dengan Gereja-Nya, kita.


Celibacy VS Sexual Excitement
Banyak orang berpikir bahwa, dengan hidup selibat maka hidup akan menjadi
boring dan tidak dapat merasakan nikmatnya seks. Wait! Sexuality is not just about intercourse, but it reveals who we are. Seks bukan hanya soal hubungan intim dan kenikmatannya. Seks berbicara soal diri kita. Lewat seksualitas kita sebagai pria dan wanita, kita dapat semakin memahami diri kita dan memahami Tuhan. Pilihan untuk selibat bukan hanya berarti tidak berhubungan seks.

Yang akan membawa
joy dalam hidup kita bukanlah sex, tetapi love.


Celibacy doesn’t reject sexuality
Jika anda berpikir selibat adalah pilihan untuk tidak melakukan hubungan seks maka, you lose the point of celibacy. Mereka yang memilih untuk selibat, tidak menolak seksualitas mereka.

Sebaliknya, mereka malah menggambarkan tujuan dan makna utama dari seksualitas manusia, yaitu pemberian secara utuh kepada Tuhan. Mereka berfokus pada suatu hidup yang lebih menyenangkan di Surga. Lewat pemberian diri secara utuh ini, mereka berfokus pada persatuan dengan Tuhan di Surga. Mereka menjadi saksi bahwa terdapat sukacita yang lebih besar daripada sukacita di dunia ini, yaitu sukacita surgawi.


Celibacy is not repressing and Marriage is not releasing
Selibat tidak menahan dan memendam dorongan seksual. Dan di sisi lain, marriage atau pernikahan bukanlah suatu zona aman melampiaskan dorongan seksual.

Para selibater menikmati seksualitas mereka dan mengalihkan segala dorongan seks mereka kepada persatuan utuh dengan Tuhan dan pemberian diri secara utuh. Pasangan yang menikah mengucapkan janji pernikahan mereka dan mereka mengucapkannya tanpa kata lewat penyerahan diri secara utuh, murni dan bebas lewat hubugan seks.

Baik memilih untuk menikah maupun selibat, seseorang tetap harus menjaga kemurnian diri masing-masing dan menjadi memenuhi panggilan dirinya yaitu untuk memberi. Baik dengan memberikan diri secara utuh kepada pasangan, maupun mempersembahkan diri lewat selibat.

Baik menikah, maupun selibat, seseorang dewasa juga dapat dipanggil sebagai orang tua. Ayah dan ibu sebagai orang tua bagi anak-anak mereka dan Imam dan biarawati dipanggil menjadi gembala bagi umat-umat-Nya.


The GIFT of Celibacy
Selibat merupakan suatu panggilan khusus dari Tuhan. Mereka seperti halnya kaum non-religious, mencintai Tuhan. Hanya saja mereka mengambil keputusan radikal, yaitu dengan bebas memilih untuk mempersembahkan diri mereka.

Tetapi hal penting yang perlu diingat, bahwa selibat bukanlah GIFT dari para selibater kepada Tuhan, melainkan GIFT dari Tuhan pada pilihan-Nya.


Am I called?
sepertinya saya dipanggil’ bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul. Dan ‘sepertinya saya tidak terpanggil’ bukanlah sesuatu yang tiba-tiba hilang. Setiap orang harus meneliti hatinya dan bertanya pada Tuhan, apa yang menjadi panggilannya. Dan diperlukan waktu dan proses untuk mengetahui panggilan seseorang.

Berikut tanda-tanda / gejala yang umumnya dialami oleh orang-orang yang terpanggil dalam panggilan khusus ini (taken from Fr. George, CSE notes):
  1. Senang ikut kegiatan di gereja. Senang kumpul-kumpul dengan teman-teman di gereja. Senang kalau berada di gereja.
  2. Suka melihat orang-orang yang berjubah. Pernah berpikir: "Kalau aku pakai jubah, seperti apa, ya?"
  3. Punya keinginan yang kuat untuk melayani Tuhan. "Kalau gak nikah, aku bisa lebih intensif melayani Tuhan!"
  4. Ada orang yang pernah bilang ke kamu: "Kau cocok jadi romo, deh!" atau "Kelihatannya engkau cocok jadi suster." Dan yang ngomong gak hanya satu orang aja!

Bila anda memang merasa dipanggil,
jangan ragu, kenali panggilanmu lebih lagi.

Jika anda merasa tidak terpanggil, benarkah anda tidak terpanggil??? Baiklah, mohon doamu untuk para selibater.



Source : Theology of the Body for teens by Jason Evert chapter 9, TOB leadership training by Brian Butler video chapter 9.

0 comments: